Belajar Untuk Tidak Menawar



Berbicara tentang belanja, tentu hal ini tidak jauh dari aktifitas ibu-ibu. Mulai dari ibu-ibu di pedesaan sampai ibu-ibu di perkotaan. Aktifitas berbelanja adalah hal yang selalu hangat untuk dibicarakan.
Setelah menikah, sayapun tidak kalah dengan ibu-ibu biasa berbelanja. Kebutuhan sehari-hari selalu saya sempatkan untuk berbelanja. Pernah suatu ketika saya berbelanja di pasar bersama kakak ipar saya. Pulang dari pasar beliau agak sedikit marah dan kecewa karena setiap jualan yang saya datangi saya tidak pernah menawar harga awalnya. Hali ini membuat kakakipar saya sedikit geram dia perpesan lumayan uang yang bisa kita tawar walaupun seribu, dua ribu itu berharga. Namun dalam hati saya bergumam mungkin mereka lebih membutuhkan seribu, dua ribu itu daripada kita dan saya selalu meniatkan diri bahwa setiap belanja adalah sedekah, Allah yang akan menggantinya dengan yang lain. 

Adapun tentang tawar menawar harga saya punya kisah yang semakin meyakinkan hati saya untuk meminimalisir tawar menawar di pedagang kecil. Sejak menikah saya tahu betul bagaimana perjuangan ibu mertua yang berjualan di pasar, harus bangun pagi-pagi menyiapkan jualannya untuk dibawa ke pasar, kelelahan dan keletihan dalam mempersiapkan  jualannya. Terkadang ketika hasil panen di sawah telah ada beliau juga harus pergi memetik dan membawa hasil panen engan melewati pematang sawah yang terkadang licin dan terjal. Hal ini menyulut hati saya betapa perjuangan seorang petani sekaligus pedagang yang harus berjuang menjajakan dagangannya dan kita sebagai pembeli yang kita tahu hanya barang itu ada I hadapan kita dan menawar harga barang yang kadang menawar dengan harga yang terendah itupun kadang harus berlama-lama tawar-menawar demi selisih harga yang tidak besar mungkin bagi kita namun sangat berarti bagi mereka para pejuang yang menjual dagangannya. 

Sedari kecil saya memang tak pernah tahu dan terlibat sedikitpun apalagi merasakan bagaimana mengerjakan pekerjaan sawah ya menanam, memanen, memupuk dan merawat tanaman di sawah, namun sejak menikah hal tersebut saya rasakan betul, seperti apa kelelahan yang dirasakan. Sejak merasakan hal tersebut saya semakin tidak tega ketika harus berbelanja di pasar terutama sayur sayuran menawar, ketika ingin menawar harga yang teringat adalah perjuangan mereka di tengah sawah kalaupun tidak punya sawah tapi perjuangan mereka untuk mendapatkan sayur yang segar di tangan pertama itu sungguh luar biasa. 

Hal yang terkadang membuat saya terenyuh adalah ketika saya tanyakan tentang pendapatan harian ibu mertua saya yang berjualan sayur di pasar ternyata tidak banyak, terkadang dua puluh lima ribu, lima puluh ribu itupun kalau pembeli sedang ramai, belum lagi jika sayurnya banyak yang kembali di bawa pulang. Namun beliau menjalaninya dengan penuh syukur dan sabar. Meski pendapatan tak banyak namun dengan berjualan kadang ibu mertua bisa berbagi dan kami anak-anaknya selalu bisa makan sayur dan ikan setiap hari. Dari hasil berjualan pun ibu mertua saya telah mampu membawa dua anaknya bersekolah hingga perguruan tinggi. Tekat dan semangat untuk memperjuangkan anak-anaknya tidak pernah surut, apapun pekerjaan dan jualan yang bisa dijual dibawanya ke pasar demi ikhtiar mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Kegiguhan beliau telah membuat saya tersadar dan hingga sekarang terus tergiang di telinga, berbelanja di pasar selama itu harga yang mampu saya bayar saya akan bayar dengan belajar berbelanja tanpa menawar kalaupun menawar tidak jauh dari harga pertama. 

Menawar harga ketika berbelanja mungkin hal yang sangat sederhana namun bagi mereka pundi-pundi sekecil apapun akan sangat berharga untuk mereka, kita tidak pernah tahu di balik wajah cerahnya menawarkan barang dagangannya ke pembeli ada rasa duka yang mendalam tentang biaya hidup yang harus dia penuhi, dan mungkin saja kita tak pernah tahu bahwa di balik jualan ala kadar seseorang di pasar ada sebuah asa dan harapan untuk biaya sekolah dan biaya berobat anak dan cucunya yang sakit. Untuk itu, kepada kita para pembeli mari kita belajar untuk tidak menawar dan menyakiti hati para pejuang yang telah bersusah payah menjajakan jualan mereka. Tentang masa depan dan masalah mereka memang bukalah menjadi urusan kita namun mari kita menjadi pribadi yang saling peduli dan memahami bahwa kita adalah manusia yang saling menghargai dengan cara yang paling sederhana.

Komentar

  1. setuju mba Lasmi, seribu dua ribu bagi pedagang kecil itu sangat berarti
    kita ke supermarket aja ga nawar, knapa ke pasar yg kadang harganya sdh d bawah harga supermarket masih menawar,,ye kaaann

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review buku Games For Islamic Mentoring

Samudra syukur

Resensi Buku Dalam Dekapan Ukhuwah